Makalah Kebudayaan Jawa Pra Islam - Makalah Gratis Putaka Pintar

 

 

KEBUDAYAAN JAWA PRA ISLAM

MAKALAH

Di susun untuk memenuhi tugas Islam dan Budaya Jawa

( Nur Huda Wildiana,M.S.I )

 

Makalah Gratis Putaka Pintar


I.                  PENDAHULUAN


Ditilik dari sudut geografis, jawa merupakan pulau yang paling strategis di Indonesia karena berada ditengan wilayah negara. Keberadaan jawa sebelum islam digambarkan oleh beberapa laporan sebagai pulau besar yang memiliki kota dan desa yang besar. Penduduknya kebanyakan kafir didaerah pedalaman tapi islam di daerah pesisir. Dari gambaran diatas dapat diketahui bahwa sebelum islam masuk ke tanah jawa, sebenarnya ada beberapa kepercayaan masyarakat dan telah lama tertanam di hati pemeluknya, terutama hindu-budha, animisme dan dinamisme.

Masyarakat jawa,atau tepatnya suku jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang kehidupan sehari-harinya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun. Masyarakat jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah jawa yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut.

Nenek moyang suku bangsa Jawa tidak berbeda dari suku-suku bangsa Indonesia lainnya yang menempati Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa yang disebut Dataran Sunda. Wilayah ini masih menjadi satu dengan benua Asia pada zaman es belum mencair. Dari sisa peninggalan masing-masing budayanya di mungkinkan ada hubungan darah di antara suku-suku tersebut, ditambah dengan bangsa di Asia Tenggara, terutama Indo China.

 

II.                RUMUSAN MASALAH

 

1.      Bagaimana Budaya Masyarakat Jawa Pra Hindu Budha?

2.      Apa saja kepercayaan-kepercayaan jawa?

3.      Kapan masuknya Hindu yang pertama di Jawa?

 

III.           PEMBAHASAN

A.   Budaya Masyarakat Jawa Pra Hindu Budha

Masyarakat jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan. Sistem hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam kekerabatan, tampaklah bahwa istilah yang sama dipakai untuk menyebut moyang, baik pada tingkat ketiga maupun keturunan pada generasi ke tiga dengan aku sebagai acuan. Jadi, buyut dapat berarti ayahnya kakek, maupun anaknya cucu, da seterusnya. (wareng, udeg-udeg, gantung siwur, gropak sente, debog bosok) sampai generasi ke sepuluh di mana galih asem dapat menunjukkan, baik nenek moyang maupun keturunan jauh. Dengan demikian, seluruh susunan kerabat secara berurutan tak terhingga dapat terbayang dalam cermin yang berhadapan.

Di Jawa, anak-anak sering di besarkan oleh saudar-saudaranya, orang tua mereka, bahkan oleh tetangga, dan anak sering kali diangkat sebagai anak angkat oleh orang lain. Hukum adat menuntut setiap orang laki-laki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan masih di tuntut untuk bekerja membantu kerabat lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan lingkungan pekuburan dan yang lainnya. Semboyan saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan pondasi patembayatan yang kuat dan mendasar. Pengolahan tanah lahan pertanian sampai waktu panen di selenggarakan secara bergotong royong, saling menolong. Hal ini masih berlaku hingga saat ini dalam sistem musyawarah adat desa yang disebut rembug desa.  

B.   Kepercayaan-kepercayaan Jawa

a.      Kepercayaan Animisme Jawa

Ciri masyarakat Jawa yang lain adalah berketuhanan. Suku bangsa jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, di sendang-sendang atau belik, tempat mata air, di kuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal pada masa lampau atau tempat-tempat lainnya yang di anggap keramat dan mengandung kekuatan gaib atau angker dan wingit atau berbahaya. Agar dapat menarik simpati roh-roh yang berdiam di tempat angker tersebut, maka pada waktu tertentu di pasang sesaji berupa sekedar makanan kecil dan bunga. Sesaji di selenggarakan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan mahluk-mahluk halus seperti lelembut, demit, dan jin yang mbahureksa atau diam di tempat-tempat tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Selian itu, juga untuk memohon berkah dan memohon perlindungan dari yang mbahureksa agar terhindar dan terjauhkan dari gangguan makhluk halus lainnya yang diutus oleh seseorang untuk mengganggu keluarganya.

b.      Kepercayaan Dinamisme Jawa

Dinamisme memiliki arti tentang kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia yang diyakini memiliki kekuatan ghaib. Masyarakat Jawa mempercayai apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam, matahari, hujan, angin, dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adikodrati di balik semua kekuatan alam ini. Selanjutnya, sebagai sisa peninggalan masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta aatau  jagad gede. Hal ini dilaksanakan agar semua kekuatan alam yang akan mempengaruhi kehidupan diri dan keluarganya dapat dikalahkan. 

Usaha ini di tempuh dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih(hanya makan- makan yang serba putih seperti nasi putih, minum air atau air tawar),ngasrep(hanya makan-makan dan minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan garam), dan berpuasa pada hari-hari wetonan atau hari kelahiran. Usaha yang berat adalah melakukan pati geni , yaitu tidak makan, tidak minum dan tidak melihat sinar apapun selama empat puluh hari empat puluh malam. Usaha untuk menamabah kekuatan batin itu sendiri dilakukan pula dengan cara mengggunakan benda jimat, berupa keris, tombak, songsong jene, batu akik, akar bahar dan kuku macan. Tindakan ke agamaan tersebut adalah sisa –sisa kepercayaan dari zaman dinamisme. 

C.   Budaya  dan Kepercayaan Jawa Hindu-Budha

a.       Masuknya Hindu yang Pertama di Jawa

Sejarah mencatat bahwa di jawa pernah mengalami “mutasi pertama” atau lebih tepat nya disebut indianisasi. Sebenarnya kemungkinan adanya pengaruh india tidak pernah terdeteksi oleh para peneliti Eropa sebelum awal abad ke 19. Raffles mengangkat indianisasi menjadi topik yang menarik dengan mengaitkan antara jawa dengan india. Gagasan indinisasi ini dilanjutkan oleh para peneliti belanda yang lain yaitu J. L. A Brandess (1957-1905), H.Kern (1833- 1917), N.J.Krom (1883-1945) dan W. F. Stutterheim(1892-1942) mereka berjasa dalam menginterpretasikan masa lampau jawa berdasarkan pngetahuan india kuno. Sekarang perlu dipertanyakaan apakah tradisi jawa masih menyimpan bekas-bekas persentuhan dengan hindu atau india. Terdapat paling sedikit tiga  petunjuk bagaimana persentuhan budaya tersebut, yang telah meresap dalam mentalitas masyarakat jawa.

            Pertama, asal-usul suku bangsa jawa yang dijelaskan oleh C.C.Berg dalam bentuk legenda tentang seorang bernama Aji Saka. Ia dikisahkan sebagai muda putra  Brahmana yang berasal daritanah India. Aji Saka datang ditanah Jawa, dan mendapatkan sebuah negri dengan nama Medangkamulan, yang kini berada di daerah Grobogan, Purwodadi. Negri itu dikuasi oleh seorang raja pemakan daging manusia yang bernama Dewatacengkar. Aji Saka menawarkan diri menjadi makanan raja dengan syarat ia akan menerima satu bidang tanah destarnya sebagai ganti. Si pemakan daging manusia menerima syarat ini dengan senang hati, tetapi ia terkejut karena Destar milik Aji Saka semakin lama semakin lebar, bahkan akhirnya menutupi seluruh wilayah negaranya. Ia menerima kekalahanya dengan mengundurkan diri, serta menyerahkan kekuasaanya kepada Aji Saka pada tahun 78 Masehi.

            Kedua, penafssran indianisasi yang lain yang kurang bersifat historis diberikan dalam naskah Jawa abad 16, Tantu Panggelaran yang merupakan sejenis buku petunjuk pertapaan – pertapaan Hindu di Jawa. Tulisan itu menjelaskan tentang asal mula Bhatara Guru atau (Siya) dia pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu supaya Pulau Jawa diberi penghuni.

            Ketiga, sebagai kelanjutan dari teori Mutasi perlu dicatat bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang membuktikan adanya kehendak untuk menciptakan kembali geografi India yang diangggap keramat itu. Bukan hanya gunung-gunungnya tetapi kerajaan-kerajaan yang namanya di pinjam dari Mahabarata.  Demikian pula relief-relief Borobudur tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui risalah –risalah india tentang Mahayana. Namun demikian tak mungkin antara keduanya yaitu jawa dan india disamaka.

b.      Kepercayaan Jawa Pada Masa Hindu-Budha

Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular berisikan pesan keagamaan yang diubah dari Boddhakawya sehinggan berkesan bahwa ia adalah seorang Boddha, yang memuja Istadewata atau Adi-Budha. Namun, dalam kakawin lain-uttarakanda yang ditulisnya, jelas merupakan pemujaan kepada Dewa Wisnu. Yang lebih rumit lagi, istadewata yang dimaksud yaitu Sri Parwatarajadewa yang berarti Dewa Raja Gunung, yaitu Dewa Siwa yang dalam mitologi india adalah menantu Himalaya. Tradisi pemujaan gunung kramat di Jawa agaknya merupakan kepercayaan pada kekeramatan tempat-tempat tinggi yang ada hubungannya dengan pemujaan arwah nenek moyang yang terdapat sejak lama di Asia Tenggara pada umumnya, sebelum kedatangan agama Hindu-Budha di tanah jawa. 

c.       Budaya Jawa pada Masa Hindu-Budha

Pada dasarnya budaya di masa Hindu-Budha merupakan maniflastasi kepercayan jawa hidu- budha semenjak datangnya hindu- buda di tanah jawa.Kegiatan itu berupa: upacara, tradisi yang sebagian masih dapat keberadaannya sampai saat ini upacara tersebut dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan dari para dewa.

Masyarakat jawa dimasa hindu tampaknya berlapis tiga:

1.      Terdiri dari kaum agamawan hindu dan budha yang memiliki tanah bebas pajak.

2.      Keluarga raja yang berkuasa atas para penguasa lokal dengan bantuan kaum agamawan.

3.      Adalah masyarakat desa biasa yang dipungut pajak oleh raja dengan perantara pemanen pajak dengan memperbnayak jumlah sima para raja berkepentingan menjaring dukungan agamawan, sedangkan dari sudut kekayaan materian, meraka juga berkepentingan untuk membudidayakan padi. 

IV.             KESIMPULAN

Masyarakat jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-narma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Sebelum datangnya islam, masyarakat Jawa sudah mengenal agam sebelum kedatangan  Hindu-Budha masyarakat Jawa sudah mengadakan ritual penyembahan roh halus, menyembah pohon-pohon besar. Itu yanng mendasari lahirnya kepercayaan animisme dan dinanisme. Pengaruh Hindu-Budha tidak terlepas dari pengaruh India yang masuk ke Indonesia. Hindu-budha menjadi agama yang berkembang pesat karena pengaruh kerajaan yang minoritas adalah Hindu

Dalam usaha memahami realitas pengaruh Hindu-Budha yang serba rumit itu, telah dikaji dan digaris bawahi betapa langgeng unsur-unsur yang pernah memasuki jawa hampir dua milinium yang lalu.dalam hal ini praktek situs-situs kuno, ciri magis pewayangan kaitan atara pengorbanan kerbau dan pemujaan orang mati dikalangan masyarakat jawamasih dapat terjadi, bahkan agama islam menjadi agama masyarakat jawa.

V.                DAFTAR PUSTAKA

Musahadi, dkk.Mengejar Tradisi Merajut Masa Depan, Semarang: PUSLIT IAIN Walisongo, 2003.

Abdul Jamil, dkk.Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.

Denys Lombard, Silang Budaya Jilid III, Jakarta : Gramedia, 1996.

Harun Hadiwijono, Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinaan Jawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1983.

0 Response to "Makalah Kebudayaan Jawa Pra Islam - Makalah Gratis Putaka Pintar"

Post a Comment

Popular Posts