TEORI TEORI DALAM ANTROPOLOGI


TEORI  TEORI  DALAM  ANTROPOLOGI
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas :
Mata kuliah                 : Antropologi
Dosen Pengampu        : Dra.Hj. Misbah Zulfa Elisabeth
teori antropologi
Disusun Oleh :
1. Dwi cahyaninggrum              1401026040
2. Ilham fatoni                           1401026046
3. Safana intani                         1401026054
4. Dika aldiah                            1401026062
5. Wardah hamra                       1401026073
6. Arifatun naimah                    1401026076
7. Aditya afrianto                      1401026078

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI WALISONGO
2014
I.            PENDAHULUAN

Telah lama manusia tertarik pada kebiasaan-kebiasaan dari manusia lainnya. Namun, lebih kurang 100 tahun terakhir ini, studi tentang kebudayaan manusia diterapkan sedemikian rupa,sehingga study ini dapat disebut study ilmiah. Sejak 100 tahun yang lampau, para peminat mengenai kebudayaan dan masyarakat lain, menjadi sadar jika mereka harus mempelajari pokok perhatiannya menurut cara yang telah di lakukan oleh ilmuan-ilmuan di bidang ilmu lainnya. Yaitu dengan cara yang sistematis dan melalui observasi yang tidak berat sebelah. Untuk menggambarkan kebudayaan secara lebih tepat dan benar.Para ahli antropologi mulai hidup di tengah masyarakat yang di pelajarinya, sehingga meraka dapat melakukan pengamatan bahkan dapat ikut ambil bagian dalam kejadian-kejadian penting dari masyarakat yang bersangkutan.Juga secara cermat mereka dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada wakil penduduk asli atau pribumi tentang kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat mereka. Dengan kata lain, para ahli antropologi mulai melaksanakan penelitian lapangan. 
Pembicaraan meliputi definisi antopologi sebagai disiplin yang mencari pemahaman “ perspektif ” pelaku budaya dan pelaku ini lah yang di anggap sebagai pemilik “teori” atau “pengetahuan” Konsep lokal knowledge  akan di jadikan titik tolak pembahasan.[1]

 II.               RUMUSAN MASALAH
1.   Apasajakah yang dibahas dalam kajian antropologi ?
b.      Difusionisme
c.       Fungsionalisme
d.      Fungsionalisme-struktural
e.       Struktural
f.       Etnosains
g.      Simbolik
h.      Interprentivisme
i.        Postemodernisme
     

III.            PEMBAHASAN

A.    Evoliusionisme
Pemikiran dasar evolisionisme adalah bahwa ada suatu kepastian dalam tata tetib perkembangan, yang melintasi kebudayaan dengan kecepatan yang agak kecil agak besar (Baal,1988; 114). Misalkan saja dalam bidang perkawinan, Edward Watermarck bahwa ada hubungan analogis antara hewan dan manusia.Khususnya pada jenis burung, telah ada pemilihan keturunan, bahkan burung jantan juga memelihara anak-anaknya. Hal ini mengidentifikasiakan bahwa masa silam perkawinan manusia pun tidak tidak campur aduk, malinkan telah ada proses yang beradap. Perkawinan masa lalau telah berlangsung lama, telah memikirkan hubungan seksual, dan karenanya memerlukan perawatan.Perkawinan besar kemungkinananya berupa warisan.
            Homo sapiens, aslinya juga pemakan buah, seperti juga manusia kera tadinya hidup dalam kelompok-kelompok kecil.Jika mereka berpencar lalu terjadi perkawinan campur aduk, sebenarnya merupakan mitos manusia purba saja.Seperi hanya penemuan masyarakat Andaman, bahwa suatu pasangan bercerai untuk mencuri patner baru, setelah mereka disapi.Ternyata penelitian menunjukkan, orang Andaman suami-istri yang sangat setia. Tentu saja proses semacam ini bergerak sedikit demi sedikit seiiring dengan perkembangan budaya mereka. 
               Adanya anggapan bahwa masa purba telah terjadi promiskuitas (kawin campur aduk) tidak selamanya benar, meskipun ada tanda-tanda yang tampak kerah itu, seperti pria lebih banyak cemburu dan terjadi poliandri, hal ini mungkin terjadi beberapa kali saja. Begitu pula tentang hubungan kelamin sebelum perkawinan dan konsep jusprimae noctis (hak malam pertama), yang telah dipraktekan pada masa feodal melalui kekuasaan dan perkosaan, masih perlu dikaji lebih lanjut. Karena, dengan adanya etika perkawinan yang mengikat mereka tentu lambat laun proses cultural semacam itu telah berubah. 

              Pandangan tentang ketakutan hubungan seks dalam keluarga antara ayah dan anak gadisnya dan larangan perkawinan semasa saudra pria dan wanita (incest), juga penting dalam teori evolusionisme. Masalah ini, jika dilakukan jelas akan melanggar hukum alam dan kodrat manusia. Budaya semacam ini jelas tidak dibenarkan karena akan ada akibat-akibat tertentu yang kurang menyenagkan. 

        Penelitian evolusi di Indonesia, dapat mengambil objek tentang perkawinan tentang salah satu marga, hubungan kekerabatan religi dan sebagainya.Misalkan saja, penelitian dapat menitik beratkan peranan mas kawin yang pada awalnya berfungsi sebagai alat untuk perdamaian selah ada kawin lari. Penelitian juga dapat mengkaji masalah religiusitas sejah ada pengaruh hindu jawa adanya abangan, santri, priyai, aliran kepercayaan, dan sebagainya. 

        Penelitian terakhir ini dapat memanfaatkan teori evolusi E. B. Tayor tentang religi.Menurutnya, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan tetap ada.Hanya apabila manusia telah mati, terputuslah hubungan jiwa dan jasmani.Jiwa yang telepas dari jasmani itu dapat berbuat sekehendaknya. Alam semesta akan penuh dengan jiwa bebas tersebut, yang tidak lagi disebut soul (jiwa) melainkan spirit (roh halus). Jika manusia menghormati roh tersebut dengan jalan persembahyangan disebut pahanm animism.

        Terjadinya kepercayaan seperti itu karena adanya konsep survivals.Artinya, sisa–sisa kebudayaan sebelumnya yang masih dilestarikan pada masa kebudayaan baru.Survival ini mungkin sekalihanya berupa motif-motif spiritual, dongeng, permainan, benda keramat dan sebagainya.Tentu saja, studi evolusi budaya manusia tidak terbatas pada masa lalu saja, melainkan bisa diterapkan pada masa kini.Namun, studi evolusi budaya masa kini mustinya telah berubah menjadi penelitian perubahan budaya yang cabangnya telah amat beragam. Oleh karerna itu, perubahan budaya dapat melalui berbagai segi dan cara yang unik. Maka dari itu, evolusi semakin kurang diminati oleh pengkaji budaya masa kini.Selanjutnya, ketika evolusi mengalami kemunduran, muncul difusi budaya. Yakni, sebuah kajian tentang proses pengadopsian atau peminjaman budaya dari satu wilayah ke wilayah lain


B.     Difusionisme

Difusi adalah salah satu bentuk penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika teori evolusi kebudayaan dari Tylor dan Morgan masih populer, aliran difusi mulai mempengaruhi ahli antropologi dari berbagai tempat dunia. Dua aliran utama yang mempunyai pandangan difusi dari aliran Inggris dan aliran Jerman-Austria.[2]
               Aliran difusi Inggris adalah G. Elliot Smith. William J. Perry dan W.H.R.,  mereka berpendapat bahwa evolusi yang sejajar atau pararel yang berlangsung terpisah dari sesuatu unsur kebudayaan di dua daerah yang berjauhan adalah jarang sekali terjadi. Mereka juga beranggapan bahwa pada hakekatnya manusia tidak cenderung menciptakan hal-hal baru dan lebih suka meminjam saja penemuan-penemuan dari kebudayaan orang lain lebih daripada menciptakan unsur budaya sendiri. Sama halnya pada aliran Jerman-Austria yang sams-sama beranggapan bahwa manusia lebih suka meminjam kebudayaa lain. Karena dasarnya manusia itu bukan pencipta ide baru.[3]

C.     Fungsionalisme
Tokoh utama teori ini adalah Bronislaw Malinowski yang memiliki anggapan atau asumsi bahwa setiap unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur terdapat atau dapat dikatakan bahwa pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan.[4]
Pemikiran Bronislaw Malinowski  mengajukan beberapa unsur pokok kebudayaan yang meliputi, sebagai berikut:[5]
· Sistem normatif yaitu sistem norma-norma yang memungkinkan kerjasama antara para anggota masyarakat agar dapat menguasai alam di sekelilingnya.
· Organisasi ekonomi
· Mechanism and Agencies of education yaitu alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas untuk pendidikan. Misalnya keluarga, karena keluarga adalah berperan sebagai lembaga awal dalam mengajarkan pendidikan sebelum memasuki dunia pendidikan.
· Organisasi kekuatan (the organization of force). Bronislaw Malinowski sebagai penganut teori fungsional selalu mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur kebudayaan untuk keperluan masyarakat.

D.    Fungsionalisme-struktural

Sama halnya Bronislaw Malinowski yang menjadi tokoh utama dalam aliran fungsionalisme, dalam aliran fungsionalisme-struktural yang tokoh utamanya adalah  Arthur Reginald Radcliffe-Brown. Yang sama-sama alhli lain dalam antropologi sosial mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalism. Tetapi ada perbedaan sudut pandang bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktural sosial masyarakat.
Satu contoh kongkret dari pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari Radcliffe-Brown adalah analisa tentang cara penanggunlangan mengenai ketegangan yang kecenderungan timbul di antara orang-orang yang  terikat karena perkawinan, yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda-beda.Satu masalah terbesar dari pendekatan teori fungsional strutural ini, adalah sulitnya untuk menentukan apakah satu kebiasaan tertentu pada nyatanya berfungsi dalam arti membantu pemeliharaan sistem sosial masyarakat.[6]

E.     Strukturalisme

Dari sudut pandang Claude Levi-Strauss sebagai tokoh terkemuka dari pendekatan analisa kebudayaan yang dinamakan  Struktural Perancis. Struktural Levi-Straus berbeda dengan Struktural  Racdcliffe-Brown,karena permasalahn yang menjadi perhatian utama dari Brown adalah elemen yang bagaimanakah yang berfungsi dalam masyarakat, sedangkan Levi-Straus lebih konsentrasi pada asal-usul dari sistem dan selalu memandang sebagai kebudayaan. Seperi halnya adanya upacara-upacara dan pola kehidupan sehari-hari.[7]
Antropologi Levi-Straus juga bertujuan untuk menemukan model-model bahsa dan budaya melalui struturnya yaitu pemahaman terhadap pikiran dan perilaku kehidapan manusia .[8]

F.      Etnosains
Etnosains  dapat dikatakan sebagai suatu susunan bahasa. Bila dalam pendekatan struktural dari Levi-Straus dimasukkan aturan-aturan mengenai cara berfikir yang mungkin melatar belakangkan suatu kebudayaan dalam antropologi pastinya memunculkan etnografi dalam kebudayaan  di masyarakat, dalm suatu pendekatan etnografis yang baru diberi nama ethosciece, aturan-aturan demikian dicoba dirumuskan berdasarkan analisa logis dan data etnografis dan kemungkinan bahwa analisa itu  berpendapat jika dapat diungkapkandiwarnai oleh penilaian sepihak dari peneliti.
Banyak pengikut ethnoscience berpendapat jika dapat diungkapkan aturan-aturan yang menjadi dasar dari perilaku budaya yang tepat, maka banyak hal yang dilakukan oleh manusia  dan alasan mengapa dia berlaku seperti itu, seperti halnya dengan tata bahasa yang tidak menjelaskan mengapa suatu bahasa memiliki sifat-sifat yang ada  dan bagaimana proses perubannya.[9]

A.    Simbolik
Geertz adalah seorang pakar Antropologi Amerika yang memperkenalkan perspektif baru di bidang antropologi untuk melengkapi beberapa perspektif sebelumnya, yaitu aliran struktural fungsional yang berkembang di Inggris melalui tokoh-tokohnya, seperti Bronislaw Malinowski dan Redelife Brown. Dan juga aliran evolusionis yang berkembang lebih dahulu sebelum aliran, struktural-fungsional memperoleh pengakuan akademis, dengan tokohnya, seperti Frazer, Tylor, dan Marert.
            Di Amerika, aliran struktural fungsional berkembang berkat karya Turner yang merupakan guru Clifford Geertz. Meskipun kemudian terdapat perbedaan di dalam perspektif antropologinya.Jika Turner lebih mengarah ke antropologi sosial sebagaimana aliran ini berkembang di Inggris, maka Geertz lebih masuk ke dunia budaya atau kajian antropologi budaya, terutama kajian-kajian tentang dinamis hubungan antara agama dan budaya.Di antara karya itu adalah the Religion of java,Islam Observed, dan karya lain misalnya Religion as aCultural System.
            Perspektif simbolik memang menjadi lahan baru di tengah berbagai aliran yang sudah ada sebelumnya dan dirasakan mengalami kejenuhan. Akan tetapi, perspektif ini sebagai kelanjutan tidak langsung dari perspektif fenomenologi-interpretatif di dalam kajian-kajian agama memiliki “kesamaan”, yaitu ingin memahami apa yang ada di balik fenomena. Ia tidak berhenti pada fenomena saja, tetapi bergerak menatap lebih mendalam pada dunia fenomena yang sering dikonsepsikan sebagai pemahaman interpretatif.

Kebudayaan dalam Perspektif Antropologi Simbolik
            Kebudayaan adalah istilah yang kompleks.Begitu kompleksnya sehingga terdapat sangat banyak definisi tentang kebudayaan itu. Kluckholn, misalnya telah melakukan pelacakan terhadap sekian banyak pengertian tentang kebudayaan dan kemudian merangkumnya menjadi:
(1)   Keseluruhan cara hidup suatu masyarakat,
(2)   Warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya,
(3)   Suatu cara berpikir, merasa, dan percaya,
(4)   Suatu abstraksi dari tingkah laku,
(5)   Suatu teori pada pihak antropologi tentang cara suatu kelompok masyarakatnyatanyabertingkah laku,
(6)   Suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar,
(7)   Seperangkat orientasi-orientasi standar pada masalah yang sedang berlangsung,
(8)   Tingkah laku yang di pelajari,
(9)   Suatu mekanisme untuk penataantingkah laku yang bersifat normative,
(10)  Seperangkat teknik untuk menyesuaikan, baik dengan linkungan luar maupun dengan orang-orang lain
(11)   Suatu endapan sejarah.
Di dalam menidefinisikan kebudayaan, ahli antropologi simbolik tampaknya berbeda dengan aliran evolusionis yang mendefiniskan kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia atau kelakuan dan hasil kelakuan.Oleh karena itu, dalam perspektif simbolik, kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia.Kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut.
Kebudayaan, dengan demikian ialah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagaian pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai mahkluk sosial, yang isinya ialah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta menciptakan tindakan yang diperlukannya. Kebudayaan dalam konsepsi ini mengandung dua unsure utama, yaitu sebagai pola bagi tindakan dan pola dari tindakan. Sebagai pola bagi tindakan, kebudayaan ialah seperangkat pengetahuan manusia yang berisi model-model yang secara selektif digunakan untuk menginterpretasikan, mendorong, dan menciptakan tindakan atau dalam pengertian lain sebagai pedoman tindakan, sedangkan sebagai pola dari tindakan, kebudayaan ialah apa yang dilakukan dan dapat dilihat oleh manusia sehari-hari sebagai suatu yang nyata adanya atau dlam pengertian lain ialah sebagai wujud tindakan.
Secara cukup konsisten, Geertz meeberikan pengertian kebudayaan sebagai memiliki dua elemen, yaitu kebudayaan sebagai sistem kognitif serta sistem makna dan kebudayaan sebagai sistem nilai.Sistem kognitif dan sistem makna ialah representasi pola dari atau model of, sedangkan sistem nilai ialah representasi dari pola bagi atau model for. Jika “pola dari” adalah representasi kenyataan sebagaimana wujud nyata kelakuan manusia sehari-hari, maka “pola bagi” ialah representasi dari apa yang menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan tindakan itu contoh yang lebih sederhana adalah upacara keagamaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat merupakan pola dari, sedangkan ajaran yang diyakini kebenarannya sebagai dasar atau acuan melakukan upacara keaagamanadalah pola bagi atau model untuk.
Akan tetapi, kemudian mucul persoalan teoritis, bagaimana menghubungkan antar pola dari dan pola bagi atau sistem kognitif dengan sistem nilai, yaitu kaitan antara bagaimana menerjemahkan sistem pengetahuan dan makna menjadi sistem nilai atau menerjemahkan sistem nilai menjadi sistem pengetahuan dan makana.Oleh karena itu, secara cermat Geertz melihat hal itu terletak pada sistem simbol.Simbollah yang memungkinkan manusia menagkap hubungan dinamik antara dunia nilai dengan dunia pengetahuan.Jadi, menurut Geertz, kebudayaan pada intinya terdiri dari tiga hal uatama, yaitu sistem pengetahuan atau sistem kognitif, sistem nilai atau sistem evaluatif, dan sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan atau interpretasi. Adapun titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh simbol ialah yang dinamakan makna (system of meaning).Dengan demikian, melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah symbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan.
Untuk memahami budaya, seorang pengkaji tidaklah berangkat dari pikirannya sendiri, tetapi harus berdasar atas apa yang diketahui, dirasakan, dialami oleh pelaku budaya yang dikajinya atau disebut sebagai From The Native Point’s of View, yang merupakan hakikat dari pemahaman antropologis. Semenjak Malinowski, perdebatan metodologis mengenai dari mana memandang kebudayaan manusia telah dilakukan sehingga muncul istilah-istilah: perspektif “dalam” versus “luar”, deskripsi “orang pertama” versus “orang ketiga”, teori “phenomenology” versus “objektivistik”, atau teori “kognitif” versus “behavioral”, analisis “emic” versus “etik” yang memebela terhadap pemilihan ilmu-ilmu sosial, termasuk antropologi. Di dalam kerangka ini, Geertz mengambil posisis yang disebutnya sebagai, “melihat kenyataan dari sudut pandang pelaku”.
            Dalam konteks ini, kenyataan harus memaparkan apa yang dipahami oleh pelaku budaya maka berakibat terhadap pemaparan berbagai ungkapan tersebut secara panjang lebar, yang disebut sebagai thick description, atau deskripsi tebal yang berlawanan dengan thin description, yang disebut deskripsi ringkas. Lukisan mendalam yang dikerjakan oleh etnografi itu dalam sudut pandang buku teks ialah menerapkan hubungan, menyeleksi informan, mentranskip teks-teks, mengambil silsilah-silsilah, memetakan sawah-sawah, mengisi sebuah buku harian, dan sebagainya.
            Berangkat dari konsepsi tersebut, tulisan Geertz dalam beberapa karyanya merupakan pemaparan panjang lebar sebagai hasil wawancara mendalam atau observasi terlibat sehingga dapat menggambarkan secara mendalam berbagai peristiwa dan berikut makna-makna yang terkandung di dalamnya.Di dalam tulisannnya mengenai “Abangan, Santri, Priayi dalam Mayarakat Jawa” dan “Islam yang Saya Amati” lukisan mendalam sebagai sebuah deskripsi di dalam antropologi interpretatif itu sangat kentara.[10]

B.     Interprentivisme
Paradigma interpretivismemenekankan  cara pandang, pemahaman dan makna.Dalam manajemen pendidikan, interpretifisme berada pada bagaimana pendidikan diperoleh di managemen sedemikian rupa agar mencapai tujuannya. Contoh yaitu: fenomena UAN yang meresahkan hampir semua civitas akademik mulai dari siswa orang tua sampai pada perangkat sekolah, yang menuntut para guru untuk selalu bekerja keras agar murid-muridnya lulus dengan nilai yang memuaskan. Dengan cara memanajemen pendidikan maka “panekanan” terhadap siswa utuk lulus akan semakin besar dengan tidak menggunakan rekayasa-rekayasa dalam pendidikan.[11]

C.     Postmodernisme
Istilah Postmodernisme dipopulerkan oleh para seniman, penulis, dan kritikus sastra yang menunjukkan sebuah gerakan yang menolak modernisme berhenti dalam birokrasi.Dalam bidang filsafat, Postmodernisme berarti kritik-krtik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Dengan kata lain, istilah postmodernisme di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritik atas paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya. Bahasa dan sastra adalah salah satu cara untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi objek utama dalam Hermeneutika. Hermeneutika menurut Gadamer adalah sebuah refleksi kritis atas cara-cara kita memahami dunia dan atas bentuk-bentuk pemahaman itu. Menurutnya, bahasa adalah cara yang khas dari manusia di dunia ini.
Menurut Pauline Rosenau (1992 dalam Ritzer, 2007) postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme : for begginers, Appignanesi, Garrat, Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa postmodernisme menyiratkan pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme. Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar, yaitu :
Ia melawan dan mengaburkan pengertian postmodernisme. Ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru, Sebuah zaman, zaman apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam cara kita melihat, berpikir, dan berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni, teori, dan sejarah ekonomi.


Adapun ciri-ciri dalam aliran antropologi teori postmodernisme, terdapat delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
1.Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden , dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
2.Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
3.Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
4.Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
5.Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang.Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
6.Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
7.Era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
8.Bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks
Terdapat banyak contoh kasus dalam sosial budaya Indonesia yang dianggap sebagai suatu sifat atau kegiatan postmodern dalam sudut pandang kaum postmodern itu sendiri.Misalnya dari media elektronik, berupa televisi. Bentuk iklan rokok A mild menggunakan filsafat posmodern yang terlihat dari tema-tema yang sering diajukan terkesan sangat tidak berhubungan dengan produknya, malah lebih sarat dengan tema politik dan sosial yang sedang berkembang. Seperti sebelumnya, tagline ‘talk less do more’ yang menyindir kepada orang – orang yang hanya bisa berbicara tapi tidak ada tindakan , atau tagline ‘tanya kenapa’ juga menyindir pendidikan di Indonesia, begitu juga dengan tagline ‘ wani piro’ yang menyindir para koruptor dan penyuap. Selain itu bentuk dekonstruksi dan hyperealis dapat kita temukan dalam internet dan game online, yang kini sangat digandrungi oleh masyarakat khususnya kaum muda-mudi.Facebook yang merupakan bentuk network engine (sarana mencari teman di dunia maya yang difasilitasi dengan foto diri, testimonial/pendapat dari teman-temannya, buletin board yang berfungsi sebagai papan pengumuman telah menjadi rumah kedua dalam masyarakat untuk bersosialisasi secara maya.Foto yang ditampilkan merupakan aspal (asli tetapi palsu), walau ada sebagaian yang memasang dengan foto yang asli.,chatting : kenal di dunia maya tetapi belum tentu kenal di dunia nyata. Selain itu bentuk desain poster/pamflet ataupun media promosi lainnya, yang ada kini sering berkesan berantakan, asal , atau mungkin mengambil dari masa lalu.

IV.            KESIMPULAN
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan bisa mengalami perubahan secara lambat tetapi pasti atau yang dikonsepsikan sebagai perubahan evolusioner. Perubahan kebudayaan tersebut terkait dengan proses masuknya berbagai macam kebudayaan dri tempat, suku, dan ras lain atau juga karena proses sosial yang terus berubah. Teori-teoi diatas mengajak kita utuk merefleksikan kembali tata nilai kebudayaan yang sekian waktu lupa dari perhatian masyarakat kita memperenalkan teori sekaligus aplikasinya pada ranah sosial untuk dianalisis sebagai jembatan kekosongan ruang makna kebudayaan.






DAFTAR PUSTA

Syam, Nur. 2012. Mazhab-Mazhab Antropoogi. Yogjakarta: LKIS Printing Cemerlang.
Ihromi. 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
http//www.amarsuteja.blogspot.com/2013/11/15/aliran evoluisonisem//html

http//www.rdwapril_maklh.blogspot.com/2013/15/10/prekfektif simbolik//html

http//www.bowilampard8.blogspot.com /2011/07/13/ aliran struktural perancis//html


http://nashir6768.multiply.com/j rnal/item/10/08/09/Struktural.html




[1] Ihroni,I.T.O. Pokok Pokok Antropologi,  Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,2006. Hlm 49 dan 50.
[2] Ibid., hal.56 dan hal. 57
[3] Ibid., hal.57
[4] Ibid., hal 61
[5] http//www.rdwapril_maklh.blogspot.com/2013/15/10/aliran /fungsional/. Diaksespada tanggal 09 oktober 2014 hari kamis



[6] Ihromi. Hal 61
[7] Ibid., hal 66
[8] http://nashir6768.multiply.com/j rnal/item/10/08/09/ stuktural/ diakses pada tanggal 12 oktober 2014 hari senin

[9] Ibid., hal 67 dan hal 68
[10] http//.rdwapril_maklh.blogspot.com/2013/15/10/prekfektif simbolik.html./diakses pada tanggal 10 oktober 2014 pada hari jumat

0 Response to "TEORI TEORI DALAM ANTROPOLOGI"

Post a Comment

Popular Posts