TRADISI
SYAWALAN
DI BOJA
Penyusunan
Laporan Ini Guna Untuk Memenuhi Tugas
Ujian Akhir Semester Antropologi Tentang
Observasi Tradisi Komunal
Dosen
Pembimbing : Misbah Zulfa Elizabhet
Disusun oleh :
1.
Ida
Saryanti (1401026042)
2.
Iqbal
Taufiq Rizqi (1401026050)
3.
Lilik
Eko Retno R (1401026053)
4.
Nur
Jannah (1401026055)
5.
Dewi
Riyani (1401026057)
6.
Niam
Taufiq A (1401026060)
7.
Okti
Widiyani (1401026077)
FAKULTAS DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Pada
hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan. Diantara
wilayah diindonesia yang padat penduduk adalah wilayah jawa tenga. Jawa
merupakan wilayah yang kaya dengan tradisi, ritual, upacara adat dll. Dengan
demikian guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester kelompok kami akan meneliti tentang tradisi
komunal yang ada di jawa tengah tepatnya di desa boja kecamatan boja dengan
tema tradisi komunal syawalan. Dengan
demikian kami menggunakan metode wawancara langsung dengan narasumber yang berada
di desa Boja.
Sebelumnya
kita harus mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tradisi konunal
itu sendiri. Tradisi menurut J.C Hartermann yang memandang tradisi dari sudut
makna dan fungsinya maka tradisi berisi sebuah jalan bagi masyarakat untuk
memformulasikan dan memperlakukan fakta-fakta dari eksistensi kehidupan manusia
seperti konsesus masyarakat mengenai persoalan kehidupan dan kematian, termasuk
masalah makanan dan minuman. Tradisi merupakan tatanan transendental yang di
jadikan sebagai dasar orientasi untuk pengabsahan tindak manusia. Namun
demikian tradisi juga merupakan suatu yang imanen didalam situasi actual yang
memiliki kecocokan dengan relitas yang sama dengan tatanan yang transenden
untuk mengisi fungsi orientasi dan legitimasi. Jadi, tradisi tidak sinonim
dengan keadaan statis/beralawanan dengan keadaan modern. Sedangkan upacara
komunal merupakan tradisi yang dilakukan secara bersama-sama.
Alur
upacara komunal sangat lazim dikalangan masyarakat seperti upacara komunal
biasanya. Namun ada perbedaan dalam penyajian acara komunal itu sendiri
contohnya tradisi upacara komunal
syawalan yang di adakan di kota boja kecamatan boja. Upacara syawalan ini di
lakukan oleh seluruh masyarakat boja baik anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua.
Alur tradisi upacara komunal itu sendiri yaitu seluruh masyarakat boja
mengikuti tradisi syawalan dengan dibarengkannya tradisi merdi desa (sedekah
desa) pada tanggal 7 syawal. Rangkaian acaranya yaitu pengajian di makam nyai
Dapu kemudian di lanjutkan dengan acara wayangan, tontonan / arak-arakan yang
berlangsung selama 3 hari 3 malam.
Arti penting pemaknaan berdasarkan pemaparan di atas di adakanlah
upacara syawalan dengan tujuan untuk ucapan puji syukur atas rahmat yang telah
di berikan, mempererat tali silaturahim antar warga, melestarikan tradisi jawa
dan untuk menghormati leluhur yang telah menyiarkan ajaran islam di desa boja
kecamatan boja.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
diskripsi tentang tradisi syawalan ?
B.
Makna
yang terkandung didalam tradisi syawalan?
III.
TUJUAN
PENULISAN
Tujuan
penulisan laporan ini yaitu guna untuk memperdalam pengetahuan tentang tradisi
komunal dan makna apa saja yang terkandung di dalam tradisi itu sendiri.
IV.
DISKRIPSI
A.
Asal Mula Datangnya Nyai Pandansari
Menurut sejarah lisan atau cerita tutur dan data-data
yang didapat, tokoh pendiri desa Boja adalaha Nyi Dapu yang bernama Nyi Agung
Pandansari keturunan kesultanan Demak Bintaro. Kalau ditelusuri keatas Nyai
Ageng Pandansari adalah keturunan dari Ken Arok. Karena sultan Demak pertama
yaitu Raden Patah adalah putra dari Prabu Brawijaya V yang merupakan Raja
terakhir kerajaan Majapahit. Kemudian Majapahit sendiri merupakan generasi atau
lanjutan dari kerajaan Singasari yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222.
Dengan demikian kalau dilihat dari garis silsiah jelas bahwa Nyai Ageng
Pandansari adalah garis keturunan dari Ken Arok dan Ken Dedes. Untuk
memperjelas garis ketururunan dan siapa sebenarnya Nyai Ageng Pandansari. Yang
sekarang ini oleh masyarakat Boja lebih mengenalnya dengan sebutan Nyai Dapu.
Silsilah singkatnya Nyai ageng pandansari adalah adik
dari Ki Ageng Pandanaran II “Bupati Semarang pertama” yang pada waktu itu
bertempat tinggal di Pragoto dan sekarang menjadi Bergoto yang zaman dahulu
lebih dikenal dengan Tirang Ampere. Ki Ageng Pandanaran diangkat menjadi bupati
Semarang pada tahun 1547 menjabat sebagai Bupati selama 6 tahun. Yaitu kemudian
sisa hidupnya 10 tahun dihabiskan di Tembayat untuk melaksanakan tugas gurunya
yaitu Kanjeng Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam di daerah Bayat.
Dari tahun 1553 M sampai dengan tahun 1563 M. Menyebarkan islam di Bayat yang
tempatnya juga familier disebut gunung “Jabalkat” kemudian di tahun 1563 M, Ki
Ageng Pandanaran wafat.
Raden Dapuraja pangeran dari Kasultanan Cirebon telah
melakukan perjalanan panjang dari Kasultanaan Cirebon menuju padepokan /
pesantren Kyai Jiwaraga di Dukuh Blimbingan. Dengan tujuan untuk menimba ilmu
disana. Pada suatu hari Ni Pandansari
berpapasan dengan Raden Dapuraja mereka saling senyum dan di hati mereka
masing-masing saling bergetar. Mereka saling teringat dan saling
terbayang-bayang dalam hati mereka. Suatu hari karena perasaan dan sayang dan
cinta yang tak terbendung lagi Raden Dapuraja menemui Nyai Pandansari yang
sedang duduk. Raden Dapuraja akan menyampaikan perasaanya kepada Nyai
Pandansari. Ternyata dalam hati mereka, terdapat perasaan suka sama suka.
Kemudiaan perasaan dan hubungan itu mereka sampaikan dan resmikan melalui Bobo
Kyai Jiwaraga ajak Raden Dapuraja.
Akhirnya mereka
menemui Bobo Kyai Jiwaraga dan Pangeran Dapuraja melamar Ni Pandansari.
Pangeran Dapuraja mohon restu dan meresmikan hubungan mereka, Bopo Kyai
menganguk-anggukan kepala. Akhirnya Bopo Kyai meresmikan hubungan mereka dan
mempersiapkan acara peresmian. Dengan wajab berseri-seri Pangeran Dapuraja dan
Ni Pandansari melakukan sembah hormat
dengan lembut. Setelah mereka menikah, mereka mohon pamit dan minta restu untuk
mendirikan padepokan dan membuat rumah sendiri dikabulkan dan direstui oleh
Bopo Kyai Jiwaraga. Setelah menikah Nyai Pandansari lebih dikenal dengan
sebutan Nyai Dapu, diambil dari nama suaminya Kyai Dapuraja.
Mereka memilih tempat tinggal di sebelah Desa Blimbingan.
Yang kemudian desa tersebut disebut Desa Boja yang tepatnya di Dusun Penaton.
Perjalanan Pangeran dapuraja dan Nyai Dapu menuju kearah timur desa Blimbingan
segulung menuju ke Boja selain dikawal oleh Ki Wonobodro dan Ki Wonosari juga
diiringi oleh kawan-kawan seperguruan mereka yaitu Santika Cs. Untuk membantu
membuat rumah. Setelah mereka sampai di Boja Nyai Dapu memilih tempat Boja
sebelah timur. Kalau sekarang sebelah barat bundaran atau perempatan Jamban
tepatnya di Langgar wakaf sekarang menjadi Masjid Nyai Dapu. Disinyalir
ditempat itulah Nyai Dapu membuat rumah dan padepokan untuk menyebarkan Islam.
Nyai Dapu Membuat Sungai dengan Menggeret
Setagen / Kendit
Setelah beberapa bulan Nyai Dapu tinggal di Boja dan Nyai
Dapu dengan suaminya melihat-lihat perkembangan padepokan Nyai Dapu melihat
salah seorang santri yang sedang mencangkul dengan mandi keringat dibawah terik matahari yang nampak
begitu lelah dan payah. Kemudian Nyai Dapu mendekat dan menghampiri santri
tersebut dan menyapa “Sepertinya tanah ini sulit sekali untuk dicangkul dan
sulit untuk ditanami” sapa Nyai Dapu. “Iya Nyai tanahnya kering dan keras “
sahut santri tersebut. Maka dari itulah Nyai Dapu meminta kepada suaminya untuk
membuatkan sungai selain untuk irigasi juga untuk memenuhi kebutuhan hidup
orang banyak. Kyai Dapu pun memenuhi permintaan Nyai Dapu. Kyai Dapu mencoba
membuat aliran sungai dengan menyundet sebrang sebrayat yang kemudian dialirkan
ke arah utara sampai melewati rumah dan padepokan. Tetapi melihat medan yang
sulit Kyai Dapu berkesimpulan hal yang sulit dimungkinkan membuat sungai dari
sendang sebrayat kemudian dialirkan ke utara sampai dengan melewati rumah dan
padepokan. Karena harus mengiris perbukitan yang banyak bebatuan.
Mendengar pernyataan suami yang tidak sanggup untuk
membuat sungai. Nyai Dapu dengan semangat yang luar biasa bertekad untuk
membuat sungai yang diharapkan masyarakat. Tidak menunggu lama Nyai Dapu
mengambil baju kependekaraannya untuk memulai pekerjaan besar untuk membuat
sungai. Sesamapinya disendang sebrayat Nyai Dapu berwudhu dan kemudian sholat
berdoa untuk meminta petunjuk, kekuataan dan kemudahan untuk membuat sungai.
Kemudian Nyai Dapu melepas setagennya untuk mengukur
lebar, panjang, kedalaman untuk meluruskan pencangkulan/penggalian aliran air.
Masyarakat sekitar yang lalu lalang di sendang sebrayat awalnya merasa aneh
melihat Nyai Dapu yang sedang menggali tanah di sendang sebrayat. Sebagai orang
yang bertanggung jawab atas keselamataan Nyai Dapu Ki Wonoboro dan Ki Wonosari
segera bergegas menuju sendang sebrayat untuk membantu Nyai Dapu yang sedang
bekerja. Seiring dengan itu teman-teman padepokan Santika Cs mulai berhamburan
datang membantu. Masyarakat yang tadinya merasa aneh dan terkesan mengejek
kemudian berhamburan ikut membantu
menyelesaikan pekerjaan raksasa tersebut.
Ketika pembuatan sungai harus membelah perbukitan yang
berbatuan dan memeng tempat itu yang harus diiris untuk aliran air. Konon
ceritanya batu besar yang ada tersebut dihancurkan oleh Nyai Dapu dengan
menggunakan kekuataan tangannya sendiri. Irisan bukit terus dilakukan yang
airnya hampir mendekati rumah dan padepokan Nyai Dapu. Dengan semangat yang
luar biasa pembuatan sungai terus dilakukan, sampai menuju ke utara sampai
melewati rumah dan padepokan tidak dihentikan tapi diteruskan sampai ke Dusun
Jagalan kemudian ke barat sampai ke Sapen.
Kyai Dapu berpisah dengan Nyai Pandansari
Kyai Dapu merasa malu karena kewibawaanya mulai aus,
terkikis dan luntur karena kemampuannya berada di bawah sang istri. Kyai Dapu
berniat akan pergi meninggalkan Nyai Dapu. Tetapi Nyai Dapu tetap berusaha
mencegah keperian suaminya. Tapi niat sudah bulat Kyai Daputetap pergi
meninggalkan Nyai Dapu. Setelah Kyai dapu, Nyai Dapu hidup menjanda yang tetap
dikawal oleh kedua abdinya yang setia yaitu Ki Wonoboro dan Ki Wonosari. Dengan
kepergiaan Kyai Dapu, Nyai Dapu memimpin pembangunan Desa Boja dengan dibantu
oleh orang-orang disekitar Nyai Dapu termasuk Putra Ki Wonoboro.
Dapat disimpulkan pembuatan sungai oleh Nyai Dapu disatu
sisi menjadikan kebutukan masyarakat terpenuhi dan nama Nyai Dapu semakin harum
dan Nyai Dapu sendiri berwibawa tapi disatu sisi juga menyebabkan perselisihan
antara Kyai Dapu dengan Nyai Dapu yang menyebabkan perpisahaan dan percerian.
Seiring dengan perjalanaan waktu kemudian Nyai Dapu menikah dengan putra Ki
Wonoboro. Menurut cerita putra Ki Wonoboro bernama Umar dan biasa disebut
dengan panggilan Kyai Umar sebelum menjadi Ki Gede Boja. Ki Umar oleh Nyai Dapu
diserahi tugas untuk memimpin pembangunan Desa Boja. Karena keberhasilannya
membangun Desa Boja maka Kyai Umar juga dikenal dengan sebutan Kyai Boja.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa lurah pertama Desa Boja adalah Ki Gede
Boja atau Kyai Boja atau Mbah Mbojo.
B.
Asal Mula Tradisi Syawalan
Istilah Syawalan berasal dari bahasa Arab yaitu Halal Bi
Halal. Menurut kamus besar bahasa Indonesia syawalan memiliki arti “acara
maaf-maafan” pada hari lebaran. Menurut Koenjaraningrat dalam budaya Jawa
(1987: hal 328) menerangkan bahwa salah sutu tradisi dan budaya islam Jawa yang
masih hidup adalah adanya penghormatan kepada makam-makam orang suci, baik
ulama atau kyai. Sementara istilah halal
bi halal merupakan kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata
bahasa Arab halal (baik atau diperbolehkan). Yang diapit satu kata penghubung
ba ( quroish shihab, 1992). Tradisi syawalaan, kata Umar Kayam(1997), merupakan
kreatifitas akulturasi budaya Jawa dan Islam. Ketika Isalam hendak
bersinggungan dengan budaya Jawa, timbul ketegangan yang muaranya menimbulkan
Disharmoni. Melihat fenomena itu para ulama Jawa lantas menciptakan akulturasi
budaya, yang memungkinkanagama baru itu diterima oleh masyarakat Jawa. Secara
singkat para ulama Jawa dahulu dengan segenap kearifannya mampu memadukan kedua
budaya yang bertolah belakang demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut sejarah lisan atau cerita tutur, dan data-data
yang didapat Tradisi syawalan di Boja dipelopori oleh Nyi Dapu yang bernama Nyi
Agung Pandansari keturunan kesultanan Demak Bintaro. Kalau ditelusuri keatas
Nyai Ageng Pandansari ituadalah keturunan dari Ken Arok. Karena sultan Demak
pertama yaitu Raden Patah adalah putra dari Prabu Brawijaya V yang merupakan
Raja terakhir kerajjan Majapahit. Kemudian Majapahit sendiri merupakan generasi
atau lanjutan dari kerajaan Singasari yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun
1222. Kemudian Nyai Pandansari menikah dengan Pangeran Dhapuraja asal Cirebon,
sebutan Nyai Dapu sendiri adalah sebutan Nyi Pandansari setelah menikah.
Masyarakat Boja untuk menunjukan kebesaran Nyi Dapu Ageng
Pandan Sari sebagai pendiri desa Boja. Setiap tahunnya diadakan perayan atau”Kirap
Nyi Dhapu” yang menggambarka sosok Nyi Ageng Pandan Sari. Yang dilaksanakaan
pada hari ke tujuh hari Raya idul fitri dihitung dari sholat Ied.
Tujuan agenda rutin kirap Nyai Dapu untuk menunjukan dan
melestarikan budaya desa Boja dan cara untuk memeriahkan Syawalan. Yang
kemudian dilanjutkan dengan acara “Acara Merti Desa Boja” yang agenda rutinnya
yaitu pagelaran wayang kulit yang kemudian dimeriahkan dengan berbagai acara hiburan separti adanya pasar malam, rebana, musik band, bazar dan lainnya.
Ramai dipadati ribuan pengunjung.
Kharisma dan kebesaran Nyai Dapu masih begitu nampak dan
jelas, yang bisa dibuktikan dengan penghormatan masyarak Boja dan sekitarnya.
Sampai ssat ini ramai mengunjungi atau berziarah kemakam Nyai Dapu. Dengan
demikian keharuman dan kebesaran makam Nyai Dapu dikagumi banyak orang. Nyai
Dapu meninggalkan Masjid yang berada di Jl. Raya Boja No. 1 Boja. Pada zaman
penjajahan masjid tersebut digunakaan untuk penjagaan penjajahan Belanda dari
pribumi dan tempat untuk menyebarkan agama islam, tetapi setelah mbah Salim
datang masjid tersebut diserahkan kepadanya,
sampai sekarang ini masjid tersebut masih digunakaan masyarakat sekitar
untuk beribadah setiap harinya. Nyai Dapu juga
meninggalkan sistem irigasi yang dibangun ketika masyarakat desa Boja
mengalami kekeringan.
C.
Makna Dalam Syawalan
Tradisi Syawalan merupakan tradisi yang dilakukan secara
bersama-sama oleh banyak orang. Tradisi Syawalan dan Merti Desa di desa Boja berjalan meriah
dengan menggelar kirap keliling Desa Boja dengan mengarak gunungan dan legenda sejarah Boja. Dilanjutkan dengan acara rutin seperti
pagelaran wayang kulit yang di meriahkan dengan adanya hiburan pasar malam,
rebana, music band, bazar dll. Filosofis acara diatas seperti Kirap keliling desa Boja dilakukan dengan menggunakan baju adat serta
menggunakan jaranan yang di arak dari Boja ke makam Nyai Dapu. filosofis
pakeyan adat tersebut yaitu menggambarkan sosok Nyai Dapu yang merupakan putri
dari kerajaan Demak Bintaro. Sedangkan filosofis jaranan di ibaratkan kuda yang
di kendarai nyai dapu menuju Boja. Didalam iring-iringan tersebut di belakang
di pandansari yang menunggang kuda berbaris Ki Agung Boja lalu dua abdi dalem
Ni Pandansari yaitu ki wonobodro dan Ki Wonosari. Sejumlah remaja di kota Boja
turut memeriahkan kegiatan tersebut dengan mengenakan kostum batik yang telah
didisain khusus dengan gambar naga, kupu-kupu, bunga dan merak.
Sedangkan
filosofis gunungan yang terdiri dari berbagai hasil bumi ini melambangkan
ucapan terimakasih kepada Tuhan yang Maha Esa karena limpahan rahmat dan
hidayahnya sehingga masyarakat dapat memetik hasil bumi yang melimpah. Filosofis wayangan itu sendiri yaitu sebagai
wahana untuk melestarikan budaya jawa serta sebagai sarana untuk pendidikan.
Karena dengan wayangan masyarakat dapat mengambil makna yang tersirat berupa
nilai agama, budaya, polotik dll. Sedangkan acara hiburan pasar malam, rebana,
music band dan bazar di gunakan untuk merekatkan hubungan antara masyarakat
satu dengan yang lainnya. Acara ini dimanfaatkan sebagai wahana unuk
mendapatkan keuntungan bagi yang berdagang dan berbisnis.
Tak
hanya itu saja, namun dengan adanya syawalan masyarakat dapat saling bersilaturahim, melestarikan tradisi
khususnya jawa serta berziarah ke makam bukan untuk mengkeramatkan makam dan tempat meminta do’a
atau bantuan dari penghuni makam, tetapi tujuan berziarah adalah mengirim doa
kepada orang yang meninggal, serta mengingatkan kita akan kematian yang akan
kita hadapi.
V.
ANALISIS
Sejak dulu kala Indonesia dikenal sebagai
bangsa yang memiliki kekayaan tradisi yang luar biasa banyak dan beragam.
Keragaman tradisi tersebut didasarkan pada keragaman etnik dan budayanya yang
tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Koentjaraningrat mengulas secara
komprehensif tentang berbagai kebudayaan tersebut, seperti kebudayaan Batak,
Ambon, Flores, Timor, Aceh, Minangkabau, Bugis-Makassar, Bali, Sunda, Jawa dan
sebagainya. Salah satu kekayaan tersebut adalah tradisi Syawalan . Syawalan
serta tradisi-tradisi lainnya dalam pandangan antropologi Ruth Benedict
merupakan salah satu konstruk kebudayaan suatu masyarakat tertentu. Menurutnya,
pada setiap kebudayaan biasanya terdapat nilai-nilai tertentu yang mendominasi
ide yang berkembang. Dominasi ide tertentu dalam masyarakat akan membentuk dan
mempengaruhi aturan-aturan bertindak masyarakatnya (the rules of conduct) dan
aturan-aturan bertingkah laku (the rules of behavior) yang kemudian secara
bersama-sama membentuk pola kultural masyarakat.
Ada lima komponen untuk menganalisis
antropologi menurut koentjaraningrat (1987:375-380) diantaranya yaitu :
1.
Emosi
keagamaan
2.
System
keyakinan
3.
System
ritus dan upacara
4.
Peralatan
ritus
5.
Umat
agama
Penjabaran lima komponen tersebut berkaitan dengan syawalan yaitu :
1.
Emosi
keagamaan
Emosi keagamaan merupakan semua aktivitas manusia yang bersangkutan
dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa. Emosi keagamaan itu lah
yangmendorong seseorang untuk melakukan tindakan – tindakan yang bersifat
religi. Pada pokoknya menurut koentjaraningrat menyebabkan bahwa suatu benda,
suatu tindakan atau suatu gagasan
mendapat suatu nilai keramat dan
dianggap keramat. Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan dan
gagasan-gagasan yang biasanya tidakkeramat yang biasanya profanete tetapi
apabila dihadapi manusia akibat adanya
emosi keagamaan maka suatu benda tersebut bias menjadi keramat. Seperti halnya
makam Nyai dapu karena masyarakat menganggap atau mempercayai kekuatan atau
kehebatan Nyai dapu hingga mengeramatkan makamnya. Dengan meminta do’a di
tempat makam nyai dapu.
2.
System
keyakinan
System keyakinan setaraf dengan system budaya dari agama yang
dianut orang jawa. Terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai
seperti yakin adanya Allah, Muhammad sebagai pesuruhnya Allah, yakin adanya
nabi-nabi lain dan tokoh-tokoh islam seperti halnya walisongo yang menyebarkan
agama islam di tanah jawa. Maka sama halnya dengan kejadian di Boja, masyarakat
mempercayai Ni dapu sebagai leluhur yang menyebarkan ajaran islam di boja.
3.
System
ritus dan upacara
Dari emosi keagamaan suatu masyarakat menghasilkan suatu system
keyakinan dalam hati hingga terwujudlah ritus dan upacara. Ritus merupakan
urut-uratan dalam melaksanakan upacara seperti acara syawalan di boja. Acara
syawalan ini dilaksanakan dengan kirap keliling dari desa boja menuju makam
dengan menggunakan pakaian tradisional/adat dan berbagai macam symbol yang
terkandung seperti gambar naga, kupu-kupu. Sedangkan upacara merupakan
serangkaian tindakan dan perbuatan yang terikat oleh aturan tertentu berdasarkan
adat istiadat, agama dan kepercayaan. Dengan upacara kita dapat mengetahui asal
usul suatu tempat, tokoh, kejadian alam dll.
4.
Peralatan
ritus
Peralatan ritus merupakan peralatan atau perlengkapan apa saja
dalam upacara tradisi seperti baju batik, jaranan, gundukan hasil bumi.
Peralatan ritus ini suatu syarat dalam melakukan arak-arakan yang melambangkan
Ni dapu.
5.
Umat
agama
Umat beragama merupakan masyarakat yang yang memiliki kepercayaan
keberagamaan. Contohnya umat agama islam. Umat
agama islam merupakan mayoritas agama yang ada di Indonesia. Namun agama
sering di kaitkan juga dengan kebudayaan. Keterkaitan agama dengan kebudayaan contohnya yaitu
Tradisi syawalan. Karena inti dari syawalan ini yaitu saling memaafkan
satudengan yang lainnya, menyambung silaturahim dan melestarikan tradisi Kerana
bertepatan dengan 7 hari setelah sholat ied.
Dalam kehidupan beragama pada dasarnya merupakan
kepercayaan terhadap keyakinaan adanya kekuatan ghaib, supernatural yang
berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Kepercayaan menimbulkan
perilaku seperti berdo’a, memuja serta menimbulkan sikap mental tertentu
seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah dari individu masyarakat yang
mempercayaai. Geertz mengungkapkan betapa kompleks dan mendalamnya kehidupan beragama.
Agama tampak tumpang tindih dengan kebudayaan (Geertz 1992). Kemudian
kompleksitas dan luasnya ruang lingkup ajaran agama dapat dilihat dalam ajaran
islam. Max Weber mengungkap tidak ada masyarakat tanpa agama. Kalau masyarakat
ingin bertahan lama harus ada Tuhan yang disembah, walaupun berbeda bentuk dan
rumusannya.
Dari pendapat Max
Wiber tersebut dapat dijabarkan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa agama.
Walaupun seseorang tidak memeluk agama tertentu (enam agama yang di akui Negara
Indonesia yaitu islam, Kristen, katolik, hindu, budha, tionghoa) namun manusia
itu juga mempunyai kepercayaan atau
keyakinan. Seperti halnya orang yang mempunyai kepercayaan dayak, bugis dll.
Namun syarat yang satunya yaitu jika ingin hidup lama maka harus ada Tuhan yang
di sembah walaupun berbeda bentuk dan
rumusan dalam peribadatan.
Namun dalam fenomena sosial budaya , dalam kenyataan hidup umat islam di
zaman modern ini kehidupan beragama semakin menciut dalam aspek kecil dari
kehidupan sehari-hari, yaitu yang berhubungan dengan yang gaib dan ritual saja.
Tradisi Syawalan adalah tradisi untuk saling
silaturahim dan maaf-memaafkan karena bertepatan dengan 7 hari setelah sholat
ied. Tradisi
tersebut masih murni ajaran Islam belum tercampur dengan agama Hindu-Budha. Di
Boja kami tidak menemukan sesaji atau barang-barang yang berbau Hindu-Budha,
menurut penjaga makam awalnya
masyarakat memperingatinya dengan berziarah ke makam Nyi Dapu yang merupakan
tokoh penyebar agama Islam di Boja, namun nilai-nilai tersebut makin lama makin
tergerus dengan semakin majunya perkembangan zaman. Sekarang ini tradisi
syawalan diramaikan dengan acara pasar malam
yang di dalamnya terdapat music band,
bazar, tontonan hingga masyarakat mulai meninggalkan tradisi berziarah tersebut.
Asal mula acara ini di pelopori oleh
mbah salim yang mengadakan syawalan dengan memasang oncor di sepanjang jalan
menuju makam. Namun dengan perkembangan jaman berubah dari oncor menjadi lampu
yang berkelap-kelip seperti pasar malam. Acara ini dimanfaatkan untuk berbisnis
dan berdagang seperti dengan mengadakan tontonan yang berupa musik band, bazar,
dan pasar malam. Dari wawancara yang dilakukan kami mendapat informasi tentang
pendanaan tontonan yaitu berasal dari dana masyarakat dan penarikan iuran bagi
para pengusaha yang ada di boja.
Sebagai tokoh agama di Boja Kyai Muhammad wahid
sangat menyayangkan adanya tontonan / pasar malam tersebut karena
sekarag yang ramai bukan makam namun pada tempat tontonan. Maka dari itu
KyaiMuhammad wahid berkeinginan melestarikan syawalan
tersebut melalui
berbagai cara diantaranya yaitu
Mengadakan pengajian yang digemari masyarakat seperti maulid (Al-Khidmah). Isi dari pengajian itu
yaitu dengan membaca riwayat Syeh Abdul Qodir jailani dan bersholawat bersama. Tujuan dari diadakannya
acara ini selain melestarikan syawalan yaitu agar semangat masyarakat kembali lagi seperti dulu
dan mengingatkan masyarakat agar tidak terjadi kesyirikan karena menganggap
makam Ni Dapu keramat.
Dari pemaparan di atas selain lima
komponen analisis antropologi kami juga akan menganalisis tiga teori yang
dijabarkan koentjaraningrat (1980b) dalam kajian terhadap kajian religi,
dikaitkan dengan tradisi syawalan yang ada di Boja yaitu (a) teori yang dalam pendekatannya
berorientasi kepada keyakinan religi,(b) teori yang dalam pendekatannya
berorientasi pada sikap manusia terhadap alam gaib atau hal yang gaib,(c)teori
yang dalam pendekatannya berorientasi kepada upacara religi. Berikut merupakan
penjabaran dari teori yang dijabarkan koentjaraningratmenurut bebeapa ahli;
Teori kategori (a) contoh tokohnya
Andrew Lang. menurut lang kemampuan gaib manusia bersahaja jaman dahululah yang
menyebabkan timbulnya konsep jiwa dan bukan analisis rasional yang
menghubungkan jiwa sebagai kekuatan penggerak hidup. Jadi jika di kaitkan
dengan tradisi syawalan yaitu syawalan jaman dahulu berbeda dengan tradisi
syawalan dijaman sekarang. Karena dengan syawalan pada jaman dulu lebih
menggunakan konsep jiwa namun pada jaman sekarang dengan perkembangan pengetahuan manusia cenderung
untuk memilah – milah sekira itu baik baginya. Dari situlah lama kelamaan
tradisi ini tak dijalankan lagi.
Contoh teori kategori b
adalahR.Otto. menurutnya semua system religi , kepercayaan dan agama di dunia
berpusat kepada konsep tentang halyang gaib (mysterium) yang dianggap maha
daksyat (tremendem) da keramat (sacre) oleh manusia. Sifat dari halyang gaib
serta keramat itu adalah maha abadi,maha dahsyat, maha baik, maha adil, maha
bijaksana, tak terlihat tak berubah tak terbatas dan sebagainya. Jadi dengan
keperayaan akan menguatkan suatu kaum atau masyarakat lebih menganggap suatu
tempat atau benda memiliki kekuatan yang gaib. Contohnya makam Nyai dapu yang
di keramatkan oleh masyarakat Boja.
Contoh teori kategori (c) adalah W.
Robertson Smith. Dia mengajukan 3 gagasan penting yang menambah pengertian kita
mengenai asas –asas religi dan agama
pada umumnya. Gagasan pertama : di samping system keyakinan dan doktrin, system
upacara juga merupakan suatu perwujudan
dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisis yang khusus.
Dalam banyak agama itu upacaranya tetap tetapi latar belakang, keyakinan dan
maksud atau doktrinnya berubah. Gagasan kedua : upacara religi atau agama yang
biasanya di laksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama
yang bersangkutan bersama-sama memiliki
fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Gagasan ketiga :
fungsi upacara bersaji. Upacara tersebut dianggap sebagai suatu aktifitas untuk
mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dalam hal itu dewa
dianggap sebagai warga komunitas walaupun sebagai warga yang istimewa(sejarah
teori antropologi I, 1980b).
VI.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Istilah Syawalan berasal dari bahasa Arab yaitu Halal Bi
Halal. Menurut kamus besar bahasa Indonesia syawalan memiliki arti “acara
maaf-maafan” pada hari lebaran. Menurut Koenjaraningrat dalam budaya Jawa
(1987: hal 328) menerangkan bahwa salah sutu tradisi dan budaya islam Jawa yang
masih hidup adalah adanya penghormatan kepada makam-makam orang suci, baik
ulama atau kyai. Kepercayaan keagamaan dipusatkan kepada adanya kekuataan gaib
yaitu Tuhan yang berada di atas alam ini (supernatural). Tuhan, roh, tenaga
gaib, mukjizat, alam ghaib adalah hal-hal yang di luar alam nyata. Kepercayaan
kepada kekuatan ghaib dalam antropologi lebih dikenal dengan supernatural
beings yaitu inti kepercayaan keagamaan.
B.
REFLEKSI
Tidak ada kebudayaan tanpa manusia karena kebudayaan
lahir dari kebiasaan tingkah laku sehari-hari. Kebudayaan terdiri dari
nilai-nilai, kepercayaan dan persepsi abstrak tentang perilaku manusia. Mengapa
ada kebudayaan? Pertanyaan tersebut sempat tersirat didalam benak kita
jawabanya adalah orang melestrikan kebudayaan untuk menangani setiap masalah
dan persoalan yang dihadapi. Agar tetap lestari kebudayaan harus memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok dari orang-orang yang hidup. Dalam hal itu kebudayaan
harus menemukan keseimbangan antara kepentingan pribadi masing-masing orang dan
kebutuhan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Akhirnya kebudayaan harus
memiliki kemampuan untuk berubah agar dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan-keadaan baru.[1]
Berdasarkan keterangan dari sesepuh desa yaitu Kyai H.
Muhammad Wahib, beliau mengutarakan dahulu masyarakat Boja beragama Hindu
dengan mayoritas dihuni oleh orang-orang kalang yaitu orang-orang yang
tersisihkan pada jaman tradisional Hindu karena tidak memiliki kasta yang hidup
di hutan secara nomaden. Dengan datangnya Kyai Dapuraja dan Nyai Dapu
menyebarkan agama Islam disanalah masyarakat desa Boja mulai memeluk agama
Islam. Meskipun dahulu masyarakat Boja memeluk agama Hindu, disana kami tidak
menemukan peninggalan Hindu seperti sesaji di makam menurut penuturan beliau
Islam boja tidak ada campuran Hindunya.
Dalam kisah Nyai Dapu tersebut terdapat banyak tauladan
yang dapat diambil dari sosok Nyai Dapu. Yaitu Beliau adalah sosok yang peduli
terhadap rakyatnya hal itu dibuktikan ketika melihat rakyatnya kesulitan
bercocok tanam, beliau dengan semangat yang keras berusaha membuat sungai
meskipun banyak cacian dari masyarakat dan pada akhirnya masyarakat turut
membantu beliau bergotong royong membuat sungai. Sosok pemimpin tidak hanya
dipeuntungkan untuk laki-laki saja tetapi seorang wanita juga mampu menjadi seorang
pemimpin. Sejak ditinggal oleh suaminya Kyai Dapuraja Nyai Dapu memimpin
pembangunaan desa Boja dengan dibantu oleh beberapa masyarakat yang ada
disekitarnya. Serta kita tidak boleh menyerah sebelum mencoba pekerjaan yang
kita anggap sulit. Nyai Dapu adalah sosok perempuan yang setia hal itu
dibuktikan ketika mereka sudah bercerai Nyai Dapu masih setia menunggu Kyai
Dapuraja hingga akhirnya beliau menikah dengan putra Ki Wonoboro.
Zaman dahulu tradisi Syawalan dipusatkan untuk berziarah
ke makam Nyai Dapu mengadakan do’a bersama selama 3 malam. Di zaman yang sudah
modern masyarakat mulai meninggalkan tradisi ziarah tersebut dan lebih memilih
melihat acara arak-arakan budaya yang
memperlihatkan hasil budaya Boja dan tingkat kreativitas masyarakat seperti
pagelaran busana. Apabila nilai-nilai tradisi tersebut tidak dipertahankan maka
tradisi tersebut lama- kelamaan akan hilang dan berganti menjadi menjadi
tradisi yang modern. Jika sudah
hilang maka tidak akan ada lagi kebudayaan yang telah lama di rintis oleh para
sesepuh terdahulu. Sekarang tugas para penduduk daerah tersebut yaitu agar
selalu melestarikan budaya syawalan untuk mengingat jasa – jasa dan pengorbanan
nyai dapu untuk masyarakat boja . kegiatan tidak hanya sebagai kegiatan rutin
tahunan , tatapi biasa juga dijadikan sebagai wisata realigi . jika tradisi ini
tetap di laksanakan setiap tahunya maka ada beberapa hal positif yang didapat
yaitu bacaan tahlil yang dibaca pada saat tradisi tersebut dapat memberikan
pahala dan berkah bagi penduduk setempat serta daerah mereka akan lebih dikenal
luas oleh para wisatawan lokal maupun mancanegara.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. Agama dalam kehidupan manusia :
pengantar antropologi agama, 2006Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Muhammad Usman. Menelusuri jejak Nyai Ageng
Pandansari, 2011, Boja.
0 Response to "MAKALAH TRADISI SYAWALAN DI BOJA"
Post a Comment