MAKALAH
SEJARAH HADITS PERIODE KE - 5
Di
Susun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen
Pengampu: Zaen Yusuf.
Di
Susun Oleh :
Arum
Shafira Kammala (1401026043)
Muhammad
Muslihin (1401026052)
Widyaning
Sekar Ayu Anindhita (1401026074)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTINTUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
I.
LATAR
BELAKANG
Hadis merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam yang memiliki
sejarah perkembangan
dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi, zaman Nabi,
Sahabat,dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.Perkembangan
hadits pada masa lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi
untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan
tercampurnya nash al-Qur’an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus
Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur’an.
Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi’in. Bahkan
Khalifah Umar ibn Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan
Khalifah yang lain. Periodeisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi
dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz(abad 2 H).Terlepas
dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan
hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Dalam
makalah ini akan di bahas mengenai :
1.
Kapan
di mulainya periode ke lima ?
2.
Bagaimana
keadaan umat islam pada periode ke lima ?
3.
Bagaimana
sikap penguasa terhadap ulama hadits ?
4.
Apa
saja kegiatan ulama hadits dalam melestarikan hadits – hadits ?
5.
Bagaimana
bentuk penyusunan hadits ?
III.
TUJUAN
PENULISAN
Makalah
ini di susun guna memberikan pemaham tentang :
1.
Mengetahui
kapan terjadinya periode ke lima.
2.
Mengetahui
keadaan umat pada periode ke lima.
3.
Mengetahui
sikap para penguasa terhadap ulama hadits.
4.
Mengetahui
kegiatan ulama hadits dalam melestarikan hadits – hadits.
5.
Mengetahui
bentuk penyusunan hadits.
IV.
Pembahasan
- Abad III
Hijriah (Periode Kelima)
Periode ini disebut: Masa permurnian,
penyehatan dan penyempurnaan. Yang dimaksud masa seleksi atau penyaringan
disini, ialah upayapara mudawwinHadis yang melakukan seleksi secara ketat,
sebagai kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil
melahirkan kitab tadwin.
Periode kelima ini dimulai sejak masa akhir
pernerintahan dinasti Abbasiyah angkatan pertama (Khalifah Al-Ma’mun) sampai
awal pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah Al-Muqtadir).
Di permulaan abad ketiga para ahli hadits
berusaha menyisihkan Al Hadits dari fatwa – fatwa sahabat dan tabi’in, mereka
berusaha membukukan hadits Rasulullah semata mata. untuk tujuan yang mulia ini
mereka mulai menyusun kitab – kitab musnad yang bersih dari fatwa fatwa,
bangunlah ulama – ulama ahli hadits seperti: Musa Al-’Abbasy, Musaddad Al-Bashry,
Asad bin Musa dan Nu’aim bin Hammad Al-Khaza’iy menyusun kitab kitab musnad,
Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin Hanbal dan Lain lainnya,dan kemudian akan
di jelaskan lebih lanjut tentang sejarah perkembangan hadist pada periode ini.
2.
Keadaan Ummat Islam pada Periode ke lima
Pertikaian faham dikalangan Ulama Sejak abad
kedua hijriyah, telah lahir para mujtahid di bidang fiqh dan dibidang ilmu
kalam. Kehidupan ilmu pengetahuan Islam pada abad ini sangat pesat. Antara para
mujtahid Islam, sesungguhnya tidaklah ada masalah. Mereka saling menghormati
dan menghargai pendapat-pendapat yang timbul. Tetapi lain halnya di kalangan
para murid dan pengikutnya. Mereka hanya baranggapan bahwa pendapat guru dan
golongannya saja yang benar. Sikap yang demikian ini mengakibatkan timbulnya
bentrokan-bentrokan antara mereka, termasuk para ulamanya.
Pada abad ketiga, bentrokan pendapat itu telah
makin meruncing, baik antar golongan mazhab fiqh, maupun antar mazhab ilmu
kalam. Ulama Hadits pada abad ketiga ini, menghadapi kedua golongan tersebut.
Terhadap pendukung madzhab fiqh yang fanatik, Ulama Hadits harus menghadapinya,
karena tidak sedikit di antara mereka berbeda pendapat dalam memahami hukum
Islam. Para pendukung madzhab fiqh yang fanatik buta, bila pendapat mazhabnya
berbeda dengan mazhab lainnya, maka di antara mereka tidak segan-segan untuk
membuat Hadits-hadits palsu dengan maksud selain untuk memperkuat argumen
mazhabnya, juga untuk menuduh lawan mazhabnya sebagai golongan yang sehat.
Golongan/mazhab ilmu kalam, khususnya kaum
Mu’tazilah, sangat memusuhi Ulama Hadits. Mereka (dari kaum Mu’tazilah) ini,
sikapnya ingin memaksakan pendapatnya membuat Hadits-hadits palsu. Pertentangan
pendapat dari kalangan ulama llmu Kalam dan Ulama Hadits ini sesungguhnya telah
mulai lahir sejak abad II hijry. Tetapi karena pada masa itu penguasa belum
memberi angin kepada kaum Mu’tazilah, maka pertentangan pendapat itu masih
berada padati ketegangan-ketegangan anta golongan. Dan ketika pemerintah, pada
awal abad III hijry, dipegang oleh Khatifah Ma’mun yang pendapatnya sama dengan
kaum Mu’tazilah, khususnya tentang kemakhlukan AlQur’an, maka Ulama Hadits
bertambah berat fitnah yang harus dihadapinya.
3.
Sikap Penguasa terhadap Ulama Hadits
Khalifah Al-Makmun (wafat 218 H) merupakan khalifah
yang sangat memperhatikan terhadap ilmu pengetahuan. Beliau tekun mempelajari
Al-Qur’an, As-Sunnah dan Filsafat. Beliau memiliki kecerdasan dan kecakapan
dalam usaha memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Diuridanglati para
Ulama dari berbagai golongan untuk bermunadzarah tentang masalah-masalah agama.
Penerjemahkan buku-buku filsafat ke dalam bahasa Arab, sangat mendapat
perhatian besar. Singkatnya, dalam masa pemerintahan Al-Makmun, Ilmu
pengetahuan berkembang pesat.
Tetapi di samping itu, dalam menghadapi
pertentangan antara golongan Mu’tazilah dengan ahli Hadits, khususnya tentang
apakah AlQur’an itu qadim atau hadits, Khalifah Al-Makmun sefaham dengan kaum
Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu hadits, karenanya Al-Qur’an itu
makhluk. Pendapat khalifah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, telah
diumumkan secara meluas pada tahtin 212 hijry. Dan karena Ulama Hadits tetap
terhadap pendiriannya yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu qadim, maka khalifah,
demi prestasinya, lalu berupaya untuk menyiasati para ulama Hadits. Di antara
Ulama Hadits yang keras pendirian adalah lmam Ahmad bin Hambal. Karenanya, Imam
Ahmad harus mengalami nasib tragis. Beliau terpaksa dipenjarakan, karena tidak
bersedia surut dari pendapatnya. Keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi
Ulama Hadits ini, tetap berlanjut pada masa khalifah Al-Mu’tashirn (wafat 227
H) dan Al-Watsiq(wafat tahun 232 H). Dan Imam Ahmad, pada masa-masa
pemerintahan ini, bukan sekedar dipenjarakan saja tetapi juga disiksa dan dirantai.
Al-Watsiq pada akhir masa hidupnya, berubah pendirian dan mulai cenderung
kepada pendapat Ulama Hadits.
Pada waktu khalifah Al-Mutawakkil mulai
memerintah (232 H), Ulama Hadits mulai mendapat angin segar yang menyenangkan.
Sebab, khalifah ini sangat cenderung kepada As-Sunnah. Ulama Hadits sering
dihadirkan di istana untuk menyampaikan dan menerangkan Hadits-hadits Nabi.
Karena demikian besarnya perhatiannya kepada Hadits Nabi, maka di antara ulama
Hadits ada yang mengatakan bahwa AlMutawakkil adalah khalifah yang menghidupkan
sunnah dan mematikan bid’ah.
Kaum zindik yang pada dasarnya sangat memusuhi
Islam, dalam masa pertentangan antar mazhab fiqh dan mazhab ilmu kalam yang
sedang menajam, telah mendapat kesempatan yang baik sekali untuk meruntuhkan Islam.
Mereka sengaja membuat Hadits-hadits palsu untuk lebih mengeruhkan suasana dan
menyesatkan umat. Sehingga karenanya, telah menambah sibuk ulama Hadits untuk
menyelamatkan Hadits-hadits Nabi yang benar-benar berasal dari Nabi.
Di samping itu, kaum muslimin yang gemar
berceritra (tukang-tukang kisah) juga belum mau menghentikan kegemarannya untuk
membuat Hadits-hadits palsu guna memperkuat dan memperindah daya pikat
kisah-kisahnya. Dalam hal ini Ulama Hadits juga harus menghadapinya, demi
terpeliharanya Hadits-hadits Nabi dari usaha percampur adukan dengan
Hadits-hadits palsu yang telah dibuat oleh ahli-ahli kisah tersebut.
4.
Kegiatan Ulama Hadits dalam melestarikan
Hadits-hadits.
Dalam
menghadapi keadaan seperti tersebut di atas, maka kegiatan Ulama Hadits dalam
usaha melestarikan Hadits-hadits Nabi secara garis besar ada lima macam
kegiatan yang penting. Yakni:
a.
Mengadakan
perlawatan ke daerah-daerah yang jauh.
Kegiatan ini
ditempuh, karena Hadits-hadits Nabi yang telah dibukukan oleh Ulama Hadits pada
periode keempat (abad II H) baru terbatas pada Hadits- hadits Nabi yang ada di
kota-kota tertentu saja. Pada hal dengan telah menyebarnya para perawi hadits
ke tempat tempat yang jauh, karena daulah Islamiyyah telah makin meluas
daerahnya, maka masih sangat banyak Hadits-hadits Nabi yang belum dibukukan
oleh karenanya, jalan yang harus ditempuh untuk menghimpun Hadits-hadits yang
berada pada perawi yang terbesar itu, adalah dengan cara melawat untuk
mengunjungi para perawi Hadits. Usaha perlawatan untuk mencari Hadits Nabi ini,
telah dipelopori oleh Imam Bukhari. Beliau selama 16 tahun telali melawat ke
kota Mekkah, Madinah, Bagdad, Basrhah, Kuffah, Mesir, Damsyik, Naisabur, dan
lain-lain. Kemudian diikuti oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam
Nasa’iy dan lain-lain.
b.
Mengadakan klasifikasi hadits.
Sejak permulaan abad III H, Ulama Hadits telah mengadakan klasifikasi
antara Hadits-hadits yang marfu’ (yang disadarkari kepada Nabi), yang mauquf
(yang disandarkan kepada sahabat) dan yang maqthu’ (yang disandarkan
pada tabi’in). Kitab-kitab musnad telah sangat berjasa dalam hal ini, sebab
telah menghimpun Hadits-hadits Nabi berdasarkan nama Sahabat yang
meriwatkannya, sehingga dengan demikian Hadits-hadits Nabi terpelihara dari
pencampur adukan dengan fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi,in. Adapun klasifikasi
Hadits kepada kualitas Shahih atau Dha’if, pada permulaan abad ini, belum
dilakukan.
c.
Mengadakan seleksi kualitas hadits.
Pada
pertengahan abad III H, mulailah Ulama Hadits mengadakan seleksi kualitas Hadits
kepada shahih dan Dahif. Ulama yang mempelopori usaha ini adalah Ishaq Ibnu
Rahawaih, kemudian diikuti oleh Bukhari, Muslim dan dilanjutkan oleh Abu Daud,
Turmudzi, Nasa’iy, Ibnu Majah dan lain-lain. Sebelum zaman Imam Turmudzi,
kualitas Hadits hanya dikenal ada dua macam saja, yakni: Shahih dan Dha’if. Dan
sejak zaman Imam Turmudzi, barulah dikenal kualitas Hadits itu kepada tiga
macam, yakni: Shahih, Hasan dan Dha’if. Demikian pendapat lbnu Taimiyah.
d.
Menghimpun segala kritik.
Menghimpun segala kritik yang telah
dilontarkan oleh ahli ilmu kalam dan lain-lain, baik kritik yang ditujukan
kepada pribadi-pribadi perawi Hadits maupun yang ditujukan kepada matan-matan
Hadits. Segala kritik itu kemudian dibantah satu per satu dengan argumentasi
ilmiah, sehingga dengan demikian terpeliharalah para perawi dan matan Hadits
dari tuduhan- tuduhan yang tidak benar. Di antara Ulama Hadits yang telah
menyusun kitab yang berisi pembahasan demikian ini, adalah Ibnu Qataibah.
Judul kitabnya : Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ‘ala ‘ada’ilil Hadits.
5.
Bentuk Penyusunan Kitab Hadits pada periode
Kelima
Sistem pendewanan Hadits pada periode ini dapat
diklasifikasi pada tiga bentuk.Yakni bentuk penyusunan :
Ø Kitab Shahih
Yaitu kitab
Hadits yang disusun oleh penyusunnya dengan cara menghimpun Hadits-hadits yang
berkualitas Shahih, sedang Hadits-hadits yang berkualitas tidak Shahih, tidak
dimasukkan. Bentuk penyusunan kitab Shahih, termasuk bentuk mushanaf. Materi
Hadits yang dihimpun, selain masalah hukum juga masalah aqidah, akhlaq, sejarah
clan tafsir.
Contoh:
- Al-Jami’us
Shahih, susunan Imam Bukhari. Kitab ini lebih dikenal dengan nama Shahih
Bukhari.
- Al-Jami’us
Shahih, susunan Imam Muslim. Kemudian lebih dikenal dengan nama Shahih
Muslim.
Ø Kitab Sunan
Yakni kitab Hadits yang oleh penyusunnya,
selain dimasukkan dalam kategori Hadits-hadits yang berkualitas Shahih, juga
dimasukkan yang berkualitas Dha’if dengan syarat tidak berkualitas mungkar clan
tidak terlalu lemah, Maka untuk Hadits yang berkualitas Dha’if, biasanya oleh 4
penyusunnya diterangkan kedha’ifannya.Bentuk penyusunan Kitab Sunan, termasuk
bentuk mushannaf. Materi Hadits yang dihimpun, hanya terbatas pada masalah fiqh
(hukum) dan semacamnya.
Contoh:
- As-Sunan,
susunan Imam Abu Daud.
- As-Sunan,
susunan Imam At-Turmudzi.
- As-Sunan,
susunan Imam An-Nasa’iy.
- As-Sunan,
susunan Imam lbnu Majah.
- As-Sunan,
susunan Imam Ad-Darimy.
Ø Kitab Musnad
Yakni kitab Hadits yang oleh penyusunnya
dihimpun seluruh Hadits yang diterimanya, dengan bentuk susunan berdasar nama
perawi pertama. Urutan nama perawi pertama, ada yang berdasarkan menurut tertib
kabilah, misalnya dengan mendahulukan Bani Hasyim, ada yang berdasar nama
Sahabat menurut urutan waktu dalam memeluk agama Islam, ada yang dalam bentuk
urutan lain. Hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Musnad, tidak dijelaskan
kualitasnya.
Contoh:
- Musnad,
susunan Imam Ahmad bin Hambal:
- Musnad,
susunan Imam Abul Qasim Al-Baghawy.
- Musnad,
susunan Imam Utsman bin Abi Syaibah.
a)
Kitab-Kitab Standar
Karena demikian banyaknya kitab-kitab Hadits
yang disusun oleh Ulama sejak permulaan pendewaan Hadits sampai pada abad III
ini, dan pula dengan mempertimbangkan kualitas, serta banyaknya Ulama Hadits
yang memberikan perhatian khusus kepada kitab-kitab Hadits tertentu, maka Ulama
Muta’akhirin lalu menetapkan beberapa kitab Hadits sebagai kitab-kitab pokok
atau kitab standar.
Kitab Standar
yang Lima (Al-Kutubul Khamsah)
Ulama sepakat, ada lima buah kitab Hadits yang
dinyatakan sebagai kitab standar (kitab pokok) yang biasa disebut dengan Al-Kutubul
Khamsah atau Al-Ushulu I Khamsah. Yakni :
- Kitab
Shahih Bukhari.
- Kitab
Shahih Muslim.
- Kitab
Sunan Abi Daud.
- Kitab
Sunan Turmudzi.
- Kitab
Sunan Nasa’iy.
Kitab Standar
yang Enam (Al-Kutubus Sittah)
Ada sebuah kitab Hadits lagi yang oleh Ulama
dimasukkan juga sebagai kitab standar dalam urutan yang keenam. Dengan
demikian, seluruh kitab standar itu ada enam buah. Yakni, lima kitab standar
sebagaimana tersebut dalam Al-Kutubul Khamsah kemudian ditambah satu kitab lagi
sehingga menjadi Al-Kutubus Sittah. Ulama tidak sependapat tentang nama kitab
standar yang menempati urutan yang keenam ini.
- Menurut
pendapat Ibnu ThahirAl-Maqdisy adalah: Sunan lbnu Majah susunan
Imam Ibnu Majah.
- Menurut
pendapat Ibnu Atsir dan lain-lain, adalah: Al-Muwattha’,
susunan Imam Malik.
- Menurut
pendapat Ibnu Hajar Al-Asqallany adalah: Sunan Ad Darimy, susunan
Imam Ad-Darimy.
- Menurut
Ahmad Muhammad Syakir, adalah: Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud.
Kitab Standar
yang Tujuh (Al-Kutubus Sab’ah)
Di antara Ulama ada yang menambah lagi sebuah
nama kitab Hadits sebagai kitab pokok (standar). Sehingga dengan demikian,
kitab standar tersebut jumlahnya menjadi tujuh buah. Dan oleh karenanya,
dinyatakan dengan nama Al-Kutubus Sab’ah (Kitab Pokok/Standar yang tujuh).
Kitab Hadits yang ditetapkan sebagai nomor urut yang ketujuh dalam kitab
standar tersebut, menurut sebagian Ulama adalah: Musnad Ahmad, susunan Ahmad
bin Hambal.
DAFTAR PUSTAKA
Endang
Soetari. Ilmu Hadis : Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung : Mimbar Pustaka.2005.h.29
M.
Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta : Bulan Bintang.
1987. h.46
0 Response to "MAKALAH SEJARAH HADITS PERIODE KE 5 "
Post a Comment